"Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “sesungguhnya aku bertaubat sekarang”. (QS. An-Nissa’ : 18).
Sungguh sahabatku telah berubah, tertawanya renyah lembut menyapa setiap telinga, laksana fajar menyingsing menyambut pagi. Padahal sebelumnya tertawanya sering kali memekakan telinga dan menyakiti perasaan. Kini pandanganya sejuk penuh tawadhu. Sedangkan sebelumnya penuh dengan pandangan destruktif. Ucapan yang keluar dari mulutnya kini penuh dengan perhitungan, padahal sebelumnya sesumbar kesana kemari melukai dan menyakiti hati orang, tidak peduli dan tidak ada beban dosa. Wajahnya tenang diliputi cahaya hidayah setelah sebelumnya terkesan garang dan tidak ada belas kasihan.
Aku tatap wajahnya, dia paham apa yang aku inginkan, lalu ia berkata. “Sepertinya engkau bertanya kepadaku. Apa yang membuatmu berubah?” “Ya, itu yang ingin aku bertanya kepadamu”, tandasku”. Wajahmu yang kulihat beberapa tahun yang lalu berbeda 180 derajat dengan wajah yang kulihat sekarang. “Maha suci Allah yang maha merubah keadaan” katanya penuh rasa syukur. “Hmm…., pasti dibalik semua itu ada kisah menariknya,” komentarku.
“Ya, kisahnya bila kukenang, selalu menambah keimananku kepada Allah yang maha kuasa atas segala sesuatu, kisahnya melebihi khayalan, namun tetap sebuah kenyatan yang telah merubah arah hidupku, sekarang aku ceritakan semua kisah ini”.
Ketika aku sedang mengendarai mobil menuju Kairo, di salah satu jembatan yang menghubungkan kota tersebut, tiba-tiba seekor sapi dan seorang anak kecil melintas di depanku, aku kaget dan tidak dapat mengendalikan kendaraan. Tanpa sadar mobilku terjun ke sungai, dan aku sudah ada di dalam air. Aku angkat kepalaku ke atas agar bisa bernafas, tetapi mobilku terus tenggelam dan air nyaris memenuhi, tanganku segera menjamah gagang pintu, tapi pintunya terkunci. Saat itu aku merasa akan segera mati,yang terbayang adalah perjalanan hidup yang penuh dengan dosa dan noda.
Segalanya seperti gelap, seperti ada di terowongan yang dalam dan gelap, panik dan mencekam dan batinku berteriak, “Yaa.. Rabb selamatkanlah aku bukan dari kematian yang sebentar lagi akan ku alami, tapi selamatkanlah aku dari segala dosa yang telah melingkupi diriku”. Aku merasa jiwaku seperti melayang dan mohon ampun kepada Allah sebelum menemui-Nya, lalu aku mengucapkan dua kalimat syahadat, aku mulai merasa akan mati.
Aku berusaha menggerakan tanganku untuk menggapai sesuatu, tiba-tiba tanganku menyentuh suatu lubang. Aku ingat lubang tersebut berasal dari kaca bagian depan yang pecah sejak tiga hari lalu. Tanpa pikir panjang lagi aku dorong sekuat tenaga badanku keluar dari kaca bolong tersebut, aku kembali melihat cahaya terang, aku lihat orang-orang menyaksikan dari tepi sungai seraya berteriak keras agar ada salah seorang yang menolongku. Lalu terjunlah dua orang dari mereka ke sungai dan membawaku ke tepinya. Dengan fisik yang lemah lunglai aku masih merasa tidak yakin bisa selamat dan kembali hidup. Dari kejauhan kulihat mobilku perlahan-lahan terbenam ke dalam air.
Sejak detik itu merasa sangat ingin meninggalkan masa laluku yang penuh dengan dosa. Hal itu langsung ku buktikan sesampainya di rumah, langsung ku robek-robek gambar dan poster para selebritis pujaan dan gambar wanita setengah telanjang yang sengaja ku pajang di dinding rumahku. Lalu aku masuk ke kamar dan menghempaskan badanku di atas kasur sambil menangis. Baru pertama kali ini aku merasa menyesal terhadap dosa-dosa yang telah kuperbuat. Semakin keras tangisku dan semakin deras air mataku bercucuran, sementara badanku gemetar. Saat itulah aku mendengar adzan, seakan-akan aku baru mendengarnya pertama kali. Aku langsung bangkit berdiri dan segera bergegas mengambil air wudhu.
Di masjid, setelah aku menunaikan sholat, aku menyatakan taubat dan mohon kepada Allah agar mengampuniku. Sejak itulah sebagaimana yang engkau lihat sekarang wajahku berubah karena taubat.
Aku tertegun mendengar ceritanya lalu aku katakana kepadanya : “Bahagialah engkau hai saudaraku, segala puji bagi Allah atas keselamatanmu, sungguh Allah telah menghendaki kebaikan terhadapmu, Allah akan selalu melindungimu dan menjagamu, serta mengokohkan langkahmu di atas kebenaran”.
WaAllahu a’lam bisshowab.
Penulis : Husein Uwais Mathar
#aazayyan
Aa zayyan
Friday, 27 January 2017
Wednesday, 25 January 2017
Konsep Hukum Dalam Islam
Para ulama mendefinisikan hukum syari’at/hukum Islam adalah seperangkat aturan yang berasal dari pembuat syari’at (Allah Subhanahu wa Ta'ala) yang berhubungan dengan perbuatan manusia, yang menuntut agar dilakukan suatu perintah atau ditinggalkan suatu larangan atau yang memberikan pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan.
Secara garis besar hukum Islam terbagi menjadi lima macam:
Pertama, Wajib; yaitu suatu perbuatan apabila dikerjakan oleh seseorang, maka orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala dan apabila perbuatan itu ditinggalkan maka akan mendapat siksa.
Kedua, Sunnah (mandub), yaitu perbuatan apabila dikerjakan maka orang yang mengerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan maka orang yang meninggalkan tersebut tidak mendapat siksa.
Hukum yang ketiga adalah haram, yaitu segala perbuatan yang apabila perbuatan itu ditinggalkan akan mendapat pahala sementara apabila dikerjakan maka orang tersebut akan mendapat siksa.
Yang keempat adalah makruh, yaitu satu perbuatan disebut makruh apabila perbuatan tersebut ditinggalkan maka orang yang meninggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan maka orang tersebut tidak mendapat siksa.
Yang kelima adalah mubah yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan orang yang mengerjakan tidak mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.
Sementara prinsip-prinsip hukum dalam Islam oleh para ulama dijelaskan sebanyak tujuh prinsip. Ketujuh prinsip tersebut adalah Prinsip Tauhid, Prinsip Keadilan, Prinsip Amar Makruf Nahi Munkar, Prinsip al-Hurriyah (Kebebasan dan Kemerdekaan), Prinsip Musawah (Persamaan/Egaliter), Prinsip ta’awun (Tolong-menolong), Prinsip Tasamuh (Toleransi).
Fungsi Profetik Agama (Kerasulan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam) dalam Hukum Islam
Petunjuk Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam al-Qur’an hanya dapat dilaksanakan dengan syarat mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam. Inilah yang kemudian disebut dengan sunnah Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam atau hadits. Secara sederhana diartikan dengan segala perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam.
Urgensi sunnah Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam dalam hukum Islam ditegaskan dengan beberapa argumen, di antaranya adalah:
1.Iman. Salah satu konsekuensi beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah menerima segala sesuatu yang bersumber dari para utusan-Nya (khususnya Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam).
2.Al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan kewajiban taat kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam.
3.Di antara argumen tentang posisi sunnah sebagai sumber hukum dalam Islam dijelaskan sendiri oleh Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam dalam beberapa haditsnya.
4.Di antara argumen tentang posisi sunnah sebagai sumber hukum Islam adalah berdasarkan konsensus umat Islam.
5.Al-Qur’an yang bersisi petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta'ala secara umum masih bersifat global, sehingga perlu ada penjelasan. Sekiranya tidak ada Hadits Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam maka ajaran al-Qur’an tidak dapat dilaksanakan secara baik.
Posisi sunnah Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam terhadap al-Qur’an sangat penting di antaranya adalah untuk menguatkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, menjelaskan apa yang masih global dalam al-Qur’an, bahkan menetapkan hukum secara mandiri yang tidak terkait langsung dengan al-Qur’an.
Konsep Keyakinan Dalam Islam
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
(Qur'an Surat Al-ikhlas ayat 1 - 4)
Iman merupakan asas yang menentukan ragam kepribadian manusia. Selama ini orang memahami bahwa iman artinya kepercayaan atau sikap batin, yaitu mempercayai adanya Allah Subhanahu wa Ta'ala, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Akhir (kiamat), Takdir baik dan buruk.
Pengertian tersebut jika digandengkan dengan hadist Nabi yaitu aqdun bil qalbi wa ikraarun bil lisaani wa amalun bil arkani maka pengertiannya akan lebih operasional. Jika didefinisikan bahwa iman adalah kepribadian yang mencerminkan suatu keterpaduan antara kalbu, ucapan dan perilaku menurut ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang disampaikan oleh Malaikat kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam.
Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut dibukukan dalam bentuk Kitab yaitu kumpulan wahyu, yang dikonkretkan dalam Al-Quran guna mencapai tujuan yang hakiki yaitu bahagia dalam hidup, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Isi kitab tersebut adalah ketentuan tentang nilai-nilai kehidupan yang baik dan yang buruk berdasarkan parameter dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ada tiga aspek iman yaitu pengetahuan, kemauan dan kemampuan. Orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah yang memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan untuk hidup dengan ajaran Al-Quran seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam. Oleh karena itu, prasyarat untuk mencapai iman adalah memahami kandungan Al-Quran. Dengan demikian strategi untuk menumbuhkembangkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah menumbuhkembangkan kegiatan, belajar dan mengajar Al-Quran secara akademik. Tujuan belajar dan mengajar adalah bukan sekedar mampu membunyikan hurufnya, melainkan sampai memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Kuat lemahnya iman seseorang sangat tergantung pada penguasaannya terhadap Al-Quran. Kekeliruan dan kedangkalan dalam memahami makna Al-Quran merupakan faktor yang membuat dangkal atau keliru dalam beriman. Untuk itu belajar dan mengajar Al-Quran harus dilakukan secara terjadwal dan berkelanjutan. Belajar Al-Quran tidak hanya di waktu kecil, namun harus berkelanjutan sampai ajal tiba.
Konsep tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut pemikiran manusia, berbeda dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa menurut ajaran Islam. Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia baik deisme, panteisme, maupun eklektisme, tidak memberikan tempat bagi ajaran Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kehidupan, dalam arti ajaran Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak fungsional. Paham panteisme meyakini Tuhan berperan, namun yang berperan adalah Zat-Nya, bukan ajaran-Nya. Sedangkan konsep ketuhanan dalam Islam justru intinya adalah konsep ketuhanan secara fungsional. Maksudnya, fokus dari konsep ketuhanan dalam Islam adalah bagaimana memerankan ajaran Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam memanfaatkan ciptaan-Nya.
Segala yang ada di alam semesta ini diciptakan oleh Yang Maha Pencipta (Khalik). Manusia yang diberi akal, ketika memperhatikan gejala dan fenomena alam akan mengambil kesimpulan bahwa alam yang menakjubkan ini tentulah diciptakan oleh Yang Maha Agung. Akal yang logis juga memahami bahwa yang dicipta tidak sama dengan Pencipta.
Makhluk, kecuali ada yang nyata dapat diketahui dengan pancaindra, ada pula yang immateri dan tidak dapat dijangkau oleh indera manusia. Keyakinan akan adanya makhluk ghaib itu, akan dapat menyampaikan kepada keimanan, juga terhadap Yang Maha Ghaib, yaitu Khalik Pencipta alam semesta ini.
Pengertian tersebut jika digandengkan dengan hadist Nabi yaitu aqdun bil qalbi wa ikraarun bil lisaani wa amalun bil arkani maka pengertiannya akan lebih operasional. Jika didefinisikan bahwa iman adalah kepribadian yang mencerminkan suatu keterpaduan antara kalbu, ucapan dan perilaku menurut ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang disampaikan oleh Malaikat kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam.
Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut dibukukan dalam bentuk Kitab yaitu kumpulan wahyu, yang dikonkretkan dalam Al-Quran guna mencapai tujuan yang hakiki yaitu bahagia dalam hidup, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Isi kitab tersebut adalah ketentuan tentang nilai-nilai kehidupan yang baik dan yang buruk berdasarkan parameter dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ada tiga aspek iman yaitu pengetahuan, kemauan dan kemampuan. Orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah yang memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan untuk hidup dengan ajaran Al-Quran seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam. Oleh karena itu, prasyarat untuk mencapai iman adalah memahami kandungan Al-Quran. Dengan demikian strategi untuk menumbuhkembangkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah menumbuhkembangkan kegiatan, belajar dan mengajar Al-Quran secara akademik. Tujuan belajar dan mengajar adalah bukan sekedar mampu membunyikan hurufnya, melainkan sampai memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Kuat lemahnya iman seseorang sangat tergantung pada penguasaannya terhadap Al-Quran. Kekeliruan dan kedangkalan dalam memahami makna Al-Quran merupakan faktor yang membuat dangkal atau keliru dalam beriman. Untuk itu belajar dan mengajar Al-Quran harus dilakukan secara terjadwal dan berkelanjutan. Belajar Al-Quran tidak hanya di waktu kecil, namun harus berkelanjutan sampai ajal tiba.
Konsep tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut pemikiran manusia, berbeda dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa menurut ajaran Islam. Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia baik deisme, panteisme, maupun eklektisme, tidak memberikan tempat bagi ajaran Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kehidupan, dalam arti ajaran Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak fungsional. Paham panteisme meyakini Tuhan berperan, namun yang berperan adalah Zat-Nya, bukan ajaran-Nya. Sedangkan konsep ketuhanan dalam Islam justru intinya adalah konsep ketuhanan secara fungsional. Maksudnya, fokus dari konsep ketuhanan dalam Islam adalah bagaimana memerankan ajaran Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam memanfaatkan ciptaan-Nya.
Segala yang ada di alam semesta ini diciptakan oleh Yang Maha Pencipta (Khalik). Manusia yang diberi akal, ketika memperhatikan gejala dan fenomena alam akan mengambil kesimpulan bahwa alam yang menakjubkan ini tentulah diciptakan oleh Yang Maha Agung. Akal yang logis juga memahami bahwa yang dicipta tidak sama dengan Pencipta.
Makhluk, kecuali ada yang nyata dapat diketahui dengan pancaindra, ada pula yang immateri dan tidak dapat dijangkau oleh indera manusia. Keyakinan akan adanya makhluk ghaib itu, akan dapat menyampaikan kepada keimanan, juga terhadap Yang Maha Ghaib, yaitu Khalik Pencipta alam semesta ini.
Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Adab adalah norma atau aturan mengenai sopan santun yang di dasarkan atas aturan agama terutama agama Islam, sebutan orang beradab sesungguhnya berarti bahwa orang itu mengetahui aturan tentang norma atau aturan mengenai sopan santun yang di tentukan dalam agama Islam, dengan begitu masyarakat beradab dapat di artikan sebagai sekelompok orang yang mengetahui aturan tentang norma atau aturan mengenai sopan santun yang di tentukan dalam agama Islam.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15: “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Tidak dapat disangkal, pendidikan merupakan satu perangkat aset yang berharga dalam konteks kehidupan seorang manusia baik secara individu maupun bangsa sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadilah ayat 11 :“ Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: berlapang-lapanglah dalam majlis, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Hal ini patut kita sadari mengingat kualitas sebuah bangsa sangat jelas terlihat baik buruknya terkait seberapa besar cara pandang pemerintah maupun individu dalam memperlakukan pendidikan berikut sarana perangkatnya. Lembaga pendidikan Islam sebagai salah satu perangkat pencetak manusia unggulan mempunyai peranan yang amat besar dalam mempersiapkan generasi yang siap berkontribusi serta siap menghadapi era yang penuh dengan tantangan dan selektifitas hidup yang sangat tajam dan melalui lembaga pendidikan Islam tentunya akan menjadikan masyarakat yang beradab.
Pendidikan yang perlu di tanamkan sejak dini adalah pendidikan akhlak, Akhlak dapat di artikan sebagai tingkah laku seseorang yang di dorong oleh keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik, sehingga dapat di katakan masyarakat yang berakhlak pasti menjadi masyarakat yang beradab.
Sehingga peran umat Islam dalam mewujudkan masyarakat beradab atau masyarakat madani adalah dengan meningkatkan sumber daya manusia (SDA) melalui pendidikan, pendidikan di sini tidak hanya pendidikan dalam bidang umum tetapi harus di barengi dengan pendidikan akhlak dan pendidikan karakter sejak dini, karena peranan akhlak sangat besar dalam menciptakan manusia yang beradab. Dalam Al-Qu’an Surat Ali Imran ayat 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.
Untuk mewujudkan masyarakat beradab tentunya dengan mengamalkan Al-Qur’an dan Al-Hadist dan kita sebagai umat muslim harus mencontoh dan menjadikan baginda Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam sebagai panutan hidup, Allah Subhanahu wa Ta'ala menegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 21 : “Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”
Selain dalam bidang pendidikan peranan umat Islam dalam mewujudkan masyarakat beradab atau masyarakat madani adalah harus ditingkatkan dalam bidang ekomoni. Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah Subhanahu wa Ta'ala dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap masyarakat. Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Syu’ara ayat 183: “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”.
Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, akrena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat,dalam Al-Qur’an surat. An-Nahl ayat 71 disebutkan: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”.
Oleh karena itu untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini dengan tetap memegang teguh Al-Qur’an dan Hadist sebagai landasan hidup kita.
Sumber: http://www.azzayyan.tk
Sumber: http://www.azzayyan.tk
Rezeki Kita, Allah Yang Menanggungnya
“Seandainya kalian benar-benar bertawakkal kepada Allah, tentu kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi)
Diceritakan ada seorang ulama Suriah acapkali mendawamkan do’a yang selalu dilantunkan. Ia selalu mengucapkan do’a seperti ini : “Ya Allah, berilah aku rezeki sebagaimana Engkau memberi rezeki kepada bughats”. Apakah yang dimaksud dengan “Bughats” itu...? seperti apa karunia yang didapatinya?
“Bughats” adalah anak burung gagak yang baru menetas. Burung gagak ketika mengerami telurnya akan menetas mengeluarkan anak yang disebut “Bughats”. Ketika sudah besar dia menjadi gagak dewasa, dalam bahasa Arab diistilahkan dengan “Ghurab”. Ada sebuah fenomena menarik yang perlu kita amati dari perjalanan hidup burung ini, dimana secara ilmiah, anak burung gagak ketika baru menetas warnanya bukan hitam seperti induknya, karena ketika baru menetas tanpa bulu, kulitnya berwarna putih. Disaat induknya menyaksikannya, ia tidak terima burung kecil itu anaknya, hingga ia tidak mau memberi makan dan minum, lalu mengintainya dari kejauhan saja. Anak burung kecil malang yang baru keluar dari telurnya itu tidak mempunyai kemampuan untuk banyak bergerak, apalagi untuk terbang.
Lalu bagaimana ia bisa makan dan minum? Dia tidak mempunyai rezeki, siapa yang memberinya rezeki? Sebab induknya tidak mau memberi makan, sebab warnanya putih. Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pemberi Rezeki yang menanggung rezekinya, karena Dialah yang telah menciptakanya. Allah Ta’ala menciptakan bau tertentu yang keluar dari tubuh anak gagak, yang dengannya dapat mengundang kehadiran serangga ke sarangnya. Lalu berbagai ulat serta serangga berdatangan sesuai dengan kebutuhan anak gagak, dan ia pun memakannya. Keadaan terus seperti itu sampai warnanya berubah menjadi hitam, karena bulunya sudah tumbuh, ketika itu barulah gagak mengetahui itu adalah anaknya, ia pun memberi makannya sampai tumbuh dewasa dan bisa terbang mancari makan sendiri, dan secara otomatis aroma yang keluar dari tubuhnyapun hilang serangga-serangga tidak berdatangan lagi ke sarangnya. Dia-lah Allah, Yang Maha Pemberi Rezeki. Firman Allah Ta’ala menegaskan: “Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yang bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya” (QS. Huud : 6)
Bicara tentang perihal pembagian rezeki hidup makhluk yang hidup di alam raya ini, di mata seorang hamba yang mengimani adanya ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, pastinya ia meyakini bahwa semua hal tersebut tidaklah berhubungan dengan adanya ikhtiar semata, melainkan termasuk dalam ruang lingkup rukun iman kepada Allah Ta’ala dengan takdir dan kehendak-Nya yang Azali. Dalam berbagai keterangan disebutkan bahwa rezeki setiap makhluk telah ada kepastiannya jauh hari sebelum ia muncul di alam semesta raya. Mari kita menyimak beberapa keterangan berikut ini, tentunya bukan untuk sekedar membaca saja, namun wajib bagi kita semua untuk meyakini. Berikut petikan keterangannya : Hadist dari sahabat ‘Ubadah bin Ash-Shamit –semoga Allah Ta’ala meridhoinya-, ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi,” (HR. Muslim). Dalam sabdanya yang lain: “Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, ‘Tulislah!” ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya kiamat” (HR. Abu Dawud).
Dalam riwayat yang lain disebutkan pula adanya sebuah keterangan yang menegaskan bahwa ketika ruh manusia ditiupkan ke dalam janin seorang ibu yang tengah hamil, tepatnya ketika menginjak usia empat bulan, di saat yang sama Allah Ta’ala kembali menegaskan ketetapan kisaran rezeki seorang hamba, bahkan berapa jumlah umur beserta amalan kebaikan serta keburukan yang kelak akan dilakukannya, terhitung ketika janin tersebut keluar dan lahir dari perut sang bunda sampai dengan wafatnya. Ketetapan ini tentunya tidak didasarkan atas kemauan Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa, meski untuk itu Allah Ta’ala berkuasa, melainkan setiap ketetapan yang telah temaktub, ditulis berdasarkan pengetahuan Allah yang Maha mengetahui setiap peristiwa yang akan terjadi dalam kehidupan ini, bahkan Allah Ta’ala Maha Tahu terkait seberapa banyak kenikmatan yang akan diteguk oleh seorang hamba ketika dimasukkan ke dalam surga-Nya, sebagaimana pula Allah Ta’ala Maha Tahu terkait batas siksaan seperti apa yang akan menimpa setiap hamba-Nya ketika masuk neraka-Nya.
Semua perkara yang telah ditetapkan-Nya itu didasarkan atas pengetahuan akan perkara ghaib serta prinsip kemahaadilan Allah Ta’ala, karenanya setiap manusia diberikan kebebasan seutuhnya untuk merentas jalan surga atau nerakanya. Keterangan semua ini bisa kita dapatkan dalam hadist berikut ini : Hadist dari Abu Abdurahman Abdullah bin Mas’ud –semoga Allah Ta’ala meridhoinya-, beliau berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan: “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan riskinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau bahagiannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga (HR. Bukhori dan Muslim)
Dari semua keterangan yang termaktub di atas, sungguh tiada layak bagi manusia untuk menafikan kehadiran Allah Ta’ala dalam setiap rezeki yang dinikmatinya atau merasa risau berlebih atas kenikmatan yang belum diraihnya, karena sungguh apapun yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan melesat darinya, dan apa yang tidak ditakdirkan baginya, tiada mungkin akan mengenainya, demikian halnya dengan perkara rezeki hidup, berupa kesuksesan jenjang karir, proyek usaha, dan lainnya. Dalam hadistnya, rosulullah –Sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “seandainya anak Adam lari dari rezekinya sebagaimana larinya dia dari kematian, niscaya rezeki akan mendatanginya sebagaimana kematian akan mendatanginya” (HR. Abu Nu’aim, dihasankan Syaikh Al-Albani).
Dalam keterangan yang lain disebutkan pula adanya sabda Rasulullah –Sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepadaku bahwa seseorang tidak akan meninggal sampai dengan sempurna seluruh rezekinya. Ketahuilah, takutlah kepada Allah, dan perindahlah caramu meminta kepada Allah. Jangan sampai keterlambatan rezeki membuatmu mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya tidak akan didapatkan sesuatu yang ada di sisi Allah kecuali dengan mentaatinya” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
WaAllahu a’lam bisshowab.
Penulis : Ridwan, Lc, M.Pd I
#aazayyan
Diceritakan ada seorang ulama Suriah acapkali mendawamkan do’a yang selalu dilantunkan. Ia selalu mengucapkan do’a seperti ini : “Ya Allah, berilah aku rezeki sebagaimana Engkau memberi rezeki kepada bughats”. Apakah yang dimaksud dengan “Bughats” itu...? seperti apa karunia yang didapatinya?
“Bughats” adalah anak burung gagak yang baru menetas. Burung gagak ketika mengerami telurnya akan menetas mengeluarkan anak yang disebut “Bughats”. Ketika sudah besar dia menjadi gagak dewasa, dalam bahasa Arab diistilahkan dengan “Ghurab”. Ada sebuah fenomena menarik yang perlu kita amati dari perjalanan hidup burung ini, dimana secara ilmiah, anak burung gagak ketika baru menetas warnanya bukan hitam seperti induknya, karena ketika baru menetas tanpa bulu, kulitnya berwarna putih. Disaat induknya menyaksikannya, ia tidak terima burung kecil itu anaknya, hingga ia tidak mau memberi makan dan minum, lalu mengintainya dari kejauhan saja. Anak burung kecil malang yang baru keluar dari telurnya itu tidak mempunyai kemampuan untuk banyak bergerak, apalagi untuk terbang.
Lalu bagaimana ia bisa makan dan minum? Dia tidak mempunyai rezeki, siapa yang memberinya rezeki? Sebab induknya tidak mau memberi makan, sebab warnanya putih. Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pemberi Rezeki yang menanggung rezekinya, karena Dialah yang telah menciptakanya. Allah Ta’ala menciptakan bau tertentu yang keluar dari tubuh anak gagak, yang dengannya dapat mengundang kehadiran serangga ke sarangnya. Lalu berbagai ulat serta serangga berdatangan sesuai dengan kebutuhan anak gagak, dan ia pun memakannya. Keadaan terus seperti itu sampai warnanya berubah menjadi hitam, karena bulunya sudah tumbuh, ketika itu barulah gagak mengetahui itu adalah anaknya, ia pun memberi makannya sampai tumbuh dewasa dan bisa terbang mancari makan sendiri, dan secara otomatis aroma yang keluar dari tubuhnyapun hilang serangga-serangga tidak berdatangan lagi ke sarangnya. Dia-lah Allah, Yang Maha Pemberi Rezeki. Firman Allah Ta’ala menegaskan: “Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yang bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya” (QS. Huud : 6)
Bicara tentang perihal pembagian rezeki hidup makhluk yang hidup di alam raya ini, di mata seorang hamba yang mengimani adanya ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, pastinya ia meyakini bahwa semua hal tersebut tidaklah berhubungan dengan adanya ikhtiar semata, melainkan termasuk dalam ruang lingkup rukun iman kepada Allah Ta’ala dengan takdir dan kehendak-Nya yang Azali. Dalam berbagai keterangan disebutkan bahwa rezeki setiap makhluk telah ada kepastiannya jauh hari sebelum ia muncul di alam semesta raya. Mari kita menyimak beberapa keterangan berikut ini, tentunya bukan untuk sekedar membaca saja, namun wajib bagi kita semua untuk meyakini. Berikut petikan keterangannya : Hadist dari sahabat ‘Ubadah bin Ash-Shamit –semoga Allah Ta’ala meridhoinya-, ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi,” (HR. Muslim). Dalam sabdanya yang lain: “Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, ‘Tulislah!” ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya kiamat” (HR. Abu Dawud).
Dalam riwayat yang lain disebutkan pula adanya sebuah keterangan yang menegaskan bahwa ketika ruh manusia ditiupkan ke dalam janin seorang ibu yang tengah hamil, tepatnya ketika menginjak usia empat bulan, di saat yang sama Allah Ta’ala kembali menegaskan ketetapan kisaran rezeki seorang hamba, bahkan berapa jumlah umur beserta amalan kebaikan serta keburukan yang kelak akan dilakukannya, terhitung ketika janin tersebut keluar dan lahir dari perut sang bunda sampai dengan wafatnya. Ketetapan ini tentunya tidak didasarkan atas kemauan Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa, meski untuk itu Allah Ta’ala berkuasa, melainkan setiap ketetapan yang telah temaktub, ditulis berdasarkan pengetahuan Allah yang Maha mengetahui setiap peristiwa yang akan terjadi dalam kehidupan ini, bahkan Allah Ta’ala Maha Tahu terkait seberapa banyak kenikmatan yang akan diteguk oleh seorang hamba ketika dimasukkan ke dalam surga-Nya, sebagaimana pula Allah Ta’ala Maha Tahu terkait batas siksaan seperti apa yang akan menimpa setiap hamba-Nya ketika masuk neraka-Nya.
Semua perkara yang telah ditetapkan-Nya itu didasarkan atas pengetahuan akan perkara ghaib serta prinsip kemahaadilan Allah Ta’ala, karenanya setiap manusia diberikan kebebasan seutuhnya untuk merentas jalan surga atau nerakanya. Keterangan semua ini bisa kita dapatkan dalam hadist berikut ini : Hadist dari Abu Abdurahman Abdullah bin Mas’ud –semoga Allah Ta’ala meridhoinya-, beliau berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan: “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan riskinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau bahagiannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga (HR. Bukhori dan Muslim)
Dari semua keterangan yang termaktub di atas, sungguh tiada layak bagi manusia untuk menafikan kehadiran Allah Ta’ala dalam setiap rezeki yang dinikmatinya atau merasa risau berlebih atas kenikmatan yang belum diraihnya, karena sungguh apapun yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan melesat darinya, dan apa yang tidak ditakdirkan baginya, tiada mungkin akan mengenainya, demikian halnya dengan perkara rezeki hidup, berupa kesuksesan jenjang karir, proyek usaha, dan lainnya. Dalam hadistnya, rosulullah –Sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “seandainya anak Adam lari dari rezekinya sebagaimana larinya dia dari kematian, niscaya rezeki akan mendatanginya sebagaimana kematian akan mendatanginya” (HR. Abu Nu’aim, dihasankan Syaikh Al-Albani).
Dalam keterangan yang lain disebutkan pula adanya sabda Rasulullah –Sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepadaku bahwa seseorang tidak akan meninggal sampai dengan sempurna seluruh rezekinya. Ketahuilah, takutlah kepada Allah, dan perindahlah caramu meminta kepada Allah. Jangan sampai keterlambatan rezeki membuatmu mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya tidak akan didapatkan sesuatu yang ada di sisi Allah kecuali dengan mentaatinya” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
WaAllahu a’lam bisshowab.
Penulis : Ridwan, Lc, M.Pd I
#aazayyan
Allah Yang Maha Adil
“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan meraka selalu mengingkari ayat-ayat Kami”. (QS. Al-‘Araaf : 8-9)
Di antara sifat mulia yang dimiliki Allah Ta’ala adalah Al-‘Adl yang bermakna Maha Adil. Al-‘Adl berasal dari kata ‘adala yang berarti lurus dan sama. Keadilan Allah Shubhanahu wa Ta'ala bersifat mutlak, tidak dipengaruhi oleh apapun dan oleh siapapun. Keadilan Allah Shubhanahu wa Ta'ala juga didasari dengan ilmu pengetahuan-Nya yang Maha Luas, sehingga tidak mungkin keputusan-Nya itu salah, Allah Shubhanahu wa Ta'ala berfirman: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah dan yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”. (QS. Al-An’am : 59)
Dalam redaksi ayat yang lain disebutkan Maha adilnya Allah Shubhanahu wa Ta'ala sangatlah mendetail penghisaban amalan setiap hamba-hamba-Nya, sehingga tiada satupun butiran kebaikan maupun keburukan melainkan ada balasan setimpal dan tiada kedzaliman didalamnya. Firman Allah Shubhanahu wa Ta'ala: “Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak mendzalimi seorang pun”. (QS. Al-Kahfi : 49)
Mentadaburi sifat Maha adil-nya Allah Shubhanahu wa Ta'ala yang mutlak, keadil-Nya kian termaknai pada perhitungan amal hari kiamat nanti. Terdapat banyak sekali gambaran Maha Adil Allah Shubhanahu wa Ta'ala yang disuguhlan baik dalam firman suci-Nya ataupun dalam sunnah rasul-Nya yang mulia, salah satunya keterangan yang menegaskan akan ditegakkannya hukum qisas yang seadil-adilnya di antara kalangan binatang, karena sungguh Allah Ta’ala tidak akan pernah mentolerir kedhaliman sekecil apapun bilamana terjadi di antara makhluk-makhluk ciptaan-Nya, meski kepada hewan atau binatang sekalipun, dan sungguh mereka akan mendapati keputusan Allah Ta’ala seadil-adilnya. Allah Shubhanahu wa Ta'ala berfirman :”Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan uamt-umat (juga) sepertimu. Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab kemudian kepada Rabb-lah mereka dihimpun.” (QS. Al-An’aam : 38)
Fakta yang menarik mesti kita cermati pula, bahwa sesungguhnya makhluk pertama kali diadili oleh Allah Shubhanahu wa Ta'ala adalah binatang, bukan manusia maupun jin. Allah Shubhanahu wa Ta'ala berfiman : “Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan (yakni dikumpulkan di hari kiamat untuk diadili)”. (QS. At-Takwir : 5).
Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “pada hari kiamat kelak seluruh binatang akan dikumpulkan, sedangkan manusia menyaksikannya. Kemudian binatang-binatang diadili, sehingga binatang yang tidak bertanduk akan menuntut balas terhadap binatang yang bertanduk yang telah menanduknya di dunia. Setelah binatang tersebut diqishash dan mereka mendapati keputusan seadil-adilnya, Allah Shubhanahu wa Ta'ala selanjutnya mengubah seluruh hewan menjadi tanah. Semua ini Allah Shubhanahu wa Ta'ala lakukan demu tegaknya keadilan di antara makhluk-Nya.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 70).
Sesungguhnya ketika proses hisab kepada seluruh hewan ini dilaksanakan, seluruh proses perhitungan dan pembalasan amal disaksikan oleh para malaikat, begitu juga orang-orang yang beriman sampai dengan orang kafir. Hingga setelah seluruh binatang diadili dan mendapatkan haknya masing-masing, Allah Shubhanahu wa Ta'ala kemudian berfirman: “Jadilah kalian tanah!,” seketika itu juga binatang-binatang itu berubah menjadi tanah, dan tatkala melihat hewan itu diubah menjadi tanah, seluruh orang-orang kafir berharap ingin seperti hewan yang menjadi tanah guna terhindar dari siksa neraka dan balasan Allah Ta’ala yang pedih, dan orang kafir itu mengatakan keinginan hatinya, “Alangkah baiknya jika aku menjadi tanah”. Harapan orang kafir yang sia-sia ini Allah Shubhanahu wa Ta'ala abadikan dalam firman-Nya: “Dan orang kafir itu berkata, “Alangkah baiknya sekiranya aku menjadi tanah saja”. (QS. An-Naba:40)
Sungguh bilamana peradilan di mahkamah Allah Shubhanahu wa Ta'ala ditegakkan kepada seluruh makhluk sebangsa binatang, lantas bagaimana keadaanya dengan kita selaku manusia yang mana janji kenikmatan surga ataupun dahsyatnya siksa neraka merupakan satu janji yang pasti sebagai balasan atas baik buruknya amalan kita, tentu penghisaban Allah Shubhanahu wa Ta'ala serta keputusan-Nya yang Maha adil tiada akan pernah luput begitu saja dari kita semua.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Allah mengumpulkan semua manusia dari yang pertama sampai yang terakhir, pada waktu hari tertentu dalam keadaan berdiri selama empat puluh tahun. Pandangan-pandangan mereka menatap (ke langit), menanti pengadilan Allah”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dan ath-Thabrani. Hadist ini dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih at-Targhib wat-Tarhib no 3591)
Saudaraku seiman, sungguh peristiwa mahkamah ilahi di padang Mahsyar sangatlah dahsyat. Di hari itu, Allah Shubhanahu wa Ta'ala mengumpulkan seluruh makhluknya, yang pertama sampai terakhir di satu tanah luas yang datar, dari mulai binatang, jin serta manusia, dan sungguh manusia yang berdosa benar-benar mengalami kesusahan dan kesedihan yang nyata..
Wa Allahu a’lam bisshowab.
Penulis : Ridwan, Lc, M.Pd I
#aazayyan
Di antara sifat mulia yang dimiliki Allah Ta’ala adalah Al-‘Adl yang bermakna Maha Adil. Al-‘Adl berasal dari kata ‘adala yang berarti lurus dan sama. Keadilan Allah Shubhanahu wa Ta'ala bersifat mutlak, tidak dipengaruhi oleh apapun dan oleh siapapun. Keadilan Allah Shubhanahu wa Ta'ala juga didasari dengan ilmu pengetahuan-Nya yang Maha Luas, sehingga tidak mungkin keputusan-Nya itu salah, Allah Shubhanahu wa Ta'ala berfirman: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah dan yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”. (QS. Al-An’am : 59)
Dalam redaksi ayat yang lain disebutkan Maha adilnya Allah Shubhanahu wa Ta'ala sangatlah mendetail penghisaban amalan setiap hamba-hamba-Nya, sehingga tiada satupun butiran kebaikan maupun keburukan melainkan ada balasan setimpal dan tiada kedzaliman didalamnya. Firman Allah Shubhanahu wa Ta'ala: “Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak mendzalimi seorang pun”. (QS. Al-Kahfi : 49)
Mentadaburi sifat Maha adil-nya Allah Shubhanahu wa Ta'ala yang mutlak, keadil-Nya kian termaknai pada perhitungan amal hari kiamat nanti. Terdapat banyak sekali gambaran Maha Adil Allah Shubhanahu wa Ta'ala yang disuguhlan baik dalam firman suci-Nya ataupun dalam sunnah rasul-Nya yang mulia, salah satunya keterangan yang menegaskan akan ditegakkannya hukum qisas yang seadil-adilnya di antara kalangan binatang, karena sungguh Allah Ta’ala tidak akan pernah mentolerir kedhaliman sekecil apapun bilamana terjadi di antara makhluk-makhluk ciptaan-Nya, meski kepada hewan atau binatang sekalipun, dan sungguh mereka akan mendapati keputusan Allah Ta’ala seadil-adilnya. Allah Shubhanahu wa Ta'ala berfirman :”Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan uamt-umat (juga) sepertimu. Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab kemudian kepada Rabb-lah mereka dihimpun.” (QS. Al-An’aam : 38)
Fakta yang menarik mesti kita cermati pula, bahwa sesungguhnya makhluk pertama kali diadili oleh Allah Shubhanahu wa Ta'ala adalah binatang, bukan manusia maupun jin. Allah Shubhanahu wa Ta'ala berfiman : “Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan (yakni dikumpulkan di hari kiamat untuk diadili)”. (QS. At-Takwir : 5).
Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “pada hari kiamat kelak seluruh binatang akan dikumpulkan, sedangkan manusia menyaksikannya. Kemudian binatang-binatang diadili, sehingga binatang yang tidak bertanduk akan menuntut balas terhadap binatang yang bertanduk yang telah menanduknya di dunia. Setelah binatang tersebut diqishash dan mereka mendapati keputusan seadil-adilnya, Allah Shubhanahu wa Ta'ala selanjutnya mengubah seluruh hewan menjadi tanah. Semua ini Allah Shubhanahu wa Ta'ala lakukan demu tegaknya keadilan di antara makhluk-Nya.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 70).
Sesungguhnya ketika proses hisab kepada seluruh hewan ini dilaksanakan, seluruh proses perhitungan dan pembalasan amal disaksikan oleh para malaikat, begitu juga orang-orang yang beriman sampai dengan orang kafir. Hingga setelah seluruh binatang diadili dan mendapatkan haknya masing-masing, Allah Shubhanahu wa Ta'ala kemudian berfirman: “Jadilah kalian tanah!,” seketika itu juga binatang-binatang itu berubah menjadi tanah, dan tatkala melihat hewan itu diubah menjadi tanah, seluruh orang-orang kafir berharap ingin seperti hewan yang menjadi tanah guna terhindar dari siksa neraka dan balasan Allah Ta’ala yang pedih, dan orang kafir itu mengatakan keinginan hatinya, “Alangkah baiknya jika aku menjadi tanah”. Harapan orang kafir yang sia-sia ini Allah Shubhanahu wa Ta'ala abadikan dalam firman-Nya: “Dan orang kafir itu berkata, “Alangkah baiknya sekiranya aku menjadi tanah saja”. (QS. An-Naba:40)
Sungguh bilamana peradilan di mahkamah Allah Shubhanahu wa Ta'ala ditegakkan kepada seluruh makhluk sebangsa binatang, lantas bagaimana keadaanya dengan kita selaku manusia yang mana janji kenikmatan surga ataupun dahsyatnya siksa neraka merupakan satu janji yang pasti sebagai balasan atas baik buruknya amalan kita, tentu penghisaban Allah Shubhanahu wa Ta'ala serta keputusan-Nya yang Maha adil tiada akan pernah luput begitu saja dari kita semua.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Allah mengumpulkan semua manusia dari yang pertama sampai yang terakhir, pada waktu hari tertentu dalam keadaan berdiri selama empat puluh tahun. Pandangan-pandangan mereka menatap (ke langit), menanti pengadilan Allah”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dan ath-Thabrani. Hadist ini dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih at-Targhib wat-Tarhib no 3591)
Saudaraku seiman, sungguh peristiwa mahkamah ilahi di padang Mahsyar sangatlah dahsyat. Di hari itu, Allah Shubhanahu wa Ta'ala mengumpulkan seluruh makhluknya, yang pertama sampai terakhir di satu tanah luas yang datar, dari mulai binatang, jin serta manusia, dan sungguh manusia yang berdosa benar-benar mengalami kesusahan dan kesedihan yang nyata..
Wa Allahu a’lam bisshowab.
Penulis : Ridwan, Lc, M.Pd I
#aazayyan
Ketika Semesta Alam Bertasbih
”Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (QS. Al-Isra:44)
Ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya setiap makhluk ciptaan Allah Shubhanahu wa Ta'ala, tidak hanya jin ataupun manusia, semesta raya berikut segala isi ciptaan-Nya turut pula dalam aktivitas mulia ini. Sadarkah kita jikalau kenikmatan surga begitupula dahsyatnya siksa neraka hanya diperuntukan untuk kalangan jin dan manusia semata, sementara makhluk ciptaan yang lain tiada janji dan jaminan bagi mereka akan adanya nikmat surga dan siksa neraka, namun mereka tetap syahdu dalam nikmatnya ibadah.
Allah Shubhanahu wa Ta'ala berfirman : 'Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai" (QS. Al-A'raaf : 179)
Dalam keterangan yang lain disebutkan : "kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya" (QS. Al-Huud : 119)
Terdapat begitu banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat hadist yang menerangkan bahwa seluruh makhluk ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bertasbih memuji Sang Maha Pencipta. Sehingga bukan hanya manusia, namun juga tumbuhan, hewan dan makhluk lainnya juga ikut bertasbih dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
“Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”
Terdapat begitu banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat hadist yang menerangkan bahwa seluruh makhluk ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bertasbih memuji Sang Maha Pencipta. Sehingga bukan hanya manusia, namun juga tumbuhan, hewan dan makhluk lainnya juga ikut bertasbih dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Bertasbih berarti mensucikan dzat Allah Yang Maha Agung dari segala bentuk kekurangan dan persekutuan. Bila manusia bertasbih dengan mengucapkan kalimat tasbih, maka berbeda halnya dengan tumbuhan dan hewan, pasalnya mereka bertasbih dengan cara mereka sendiri yang tidak dimengerti oleh kita selaku manusia.
Jikalau kita banyak menelaah berbagai dalil yang berkaitan dengan ibadah, begitu banyak sekali keterangan yang menegaskan adanya amaliyah ibadah yang dilakukan makhluk semesta alam kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Berikut beberapa keterangan firman Allah Ta’ala tersuguhkan untuk kita semua agar menjadi bahan tadabbur :
“Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”
“Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk)” (QS. An-Nuur : 41-42)
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya” (QS. Al-Anbiyaa : 79)
“Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya.” (QS. Ar-Ra’du : 13)
Disamping malaikat, gunung, burung, petir, beserta makhluk lain yang bertasbih, hewan sekalipun yang sering kita anggap tidak berguna sekalipun, seperti semut, katak dan kelelawar juga turut bertasbih mengagungkan Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda “suara katak itu tasbih, memuji Allah”. (HR. An-Nasai). Ibnu Umar menyatakan bahwa, “Janganlah kamu membunuh katak karena bunyi menguaknya adalah tasbih” (HR. Baehaqi).
Selanjutnya riwayat dari Anas bin Malik disebutkan bahwa, “Janganlah kamu membunuh katak, karena ia pernah melintas di atas api ibrahim serta membawa air di dalam mulutnya dan menyemburkan ke atas api. Hadist dari Abdullah bin ‘Amru -semoga Allah Ta’ala meridhoinya- ia berkata, “Janganlah kalian membunuh katak, karena suaranya adalah tasbih. Jangan pula membunuh kelelawar, karena ketika Baitul Maqdis roboh ia berkata : Wahai Rabb, berikanlah kekuatan padaku atas lautan hingga aku dapat menenggelamkan mereka” (HR. Al-Baihaqi).
Dalam keterangan yang lain, Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Pernah seekor semut menggigit Nabi diantara Nabi-nabi. Lalu Nabi tersebut menyuruh membakar sarang semut, maka dibakarlah. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepadanya, “Apakah karena seekor semut yang menggigitmu, lalu engkau musnahkan satu umat (semut) dari umat-umat yang selalu membaca tasbih” (HR. Muslim).
Dalam riwayat lainnya juga disebutkan bahwa, “Kalian menganggap tanda-tanda (kebesaran Allah) sebagai azab (siksa) sedangkan kami (sahabat) pada masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menganggapnya berkah. Sungguh, dahulu kami memakan makanan bersama Nabi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, dan kami mendengar makanan tersebut bertasbih ketika kami makan”. (HR. Tirmidzi)
Dari semua keterangan ini bisa kita pahami bahwa semua makhluk ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bertasbih kepada-Nya dengan berbagai macam cara. Salah satunya dengan mematuhi aturan yang telah ditetapkan Allah Ta’ala. Lantas, masihkah kita sebagai seorang hamba yang diciptakan lebih sempurnan dibandingkan makhluk lainnya melalaikan diri dari taat beribadah dan bertasbih kepada-Nya? Mari kita instropeksi diri ini dari setiap kelalaian ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Wa Allahu a’lam bisshowab.
Penulis : Ridwan, Lc, M.Pd I
#aazayyan
#aazayyan
Subscribe to:
Posts (Atom)